17
Sep
08

Cantik, antara Mitos dan Realita

Cantik ialah suatu kata yang identik dengan perempuan. Siapapun perempuan itu, -dia tidak akan menolak jika dibilang cantik, terlihat cantik dan menjadi cantik. Dan untuk menjadi cantik tersebut, sebagian kaum hawa melakukan apa saja, mulai dari aktivitas standart seperti bersolek hingga aktivitas yang melibatkan peralatan canggih (dan tentunya memerlukan biaya yang sangat mahal). Kita sering menyebutnya sebagai operasi plastik atau juga face off yang saat ini marak diberitakan media.

kosmetik

kosmetik

Cantik itu putih…saya ingin yang putih bersih merona. Begitu ujar salah satu mantan model dalam cuplikan iklan kosmetik di televisi. Media memiliki andil membuat definisi cantik. Dimana-mana iklan produk kecantikan menyergap kita. Citra perempuan sekarang tak jauh dari apa yang kerap muncul disana; tubuh langsing, rambut indah bak mayang terurai, wajah putih mulus dan bola mata indah berkat contact lens berwarna-warni. Data iklan televisi pada November 2003 menunjukkan bahwa produk seperti shampo, sabun, pelembut pakaian dan pemutih wajah termasuk dalam 20 pengiklan terbesar. Belum lagi jika kita melihat iklan di media cetak –khususnya majalah untuk remaja- halaman demi halaman penuh dengan produk kecantikan remaja.

Ismail Adam Petel dalam bukunya ”Perempuan, Feminisme dan Islam” menulis bahwa para kapitalis yang bergerak dalam industri kecantikan telah memanipulasi perempuan untuk membelanjakan lebih dari 33 milyar dolar per tahun untuk produk-produk diet. Duapuluh milyar dolar untuk alat-alat kecantikan, 300 juta dollar untuk bedah kosmetik dan lebih dari 7 milyar dollar untuk pornografi. Bukan jumlah yang sedikit memang. Selain itu industri fashion memaksa para perempuan untuk melawan sifat alami tubuh mereka. Membuat para perempuan tersebut untuk melakukan bedah kosmetik, menekan tubuh mereka dengan pakaian ketat atau menonjolkan keseksian tubuh mereka, membuat pincang kaki dengan hak tinggi memaksa untuk lapar atas nama diet.

Dan akhirnya, bukan hal aneh lagi jika kita melihat salon kecantikan, spa, wellness center dan semacamnya sibuk melayani para perempuan yang siap menghamburkan ratusan ribu rupiah dalam tempo sekejap. Sepuluh tahun yang lalu salon hanya didatangi perempuan dengan batas usia termuda 18 tahun, namun sekarang salon biasa melayani gadis berusia 10 tahun. Mereka bisa datang dua hingga tiga kali dalam seminggu.

Definisi cantik dan mitos bagi perempuan memang berubah-ubah dari masa ke masa. Sejarah manusia mencatat, definisi cantik terus-menerus berubah. Di Eropa pada abad pertengahan kecantikan perempuan berkait erat dengan fertilitasnya, dengan kemampuan reproduksinya. Pada abad ke-15 sampai ke-17, perempuan cantik dan seksi adalah mereka yang punya perut dan panggul yang besar serta dada yang montok, yakni bagian tubuh yang berkait dengan fungsi reproduksi. Pada awal abad ke-19 kecantikan didefinisikan dengan wajah dan bahu yang bundar serta tubuh montok. Sementara itu, memasuki abad ke-20 kecantikan identik dengan perempuan dengan bokong dan paha besar. Di Afrika dan India umumnya perempuan dianggap cantik jika ia bertubuh montok, terutama ketika ia telah menikah, sebab kemontokannya menjadi lambang kemakmuran hidupnya. Tahun 1965 model Inggris, Twiggy, yang kurus kerempeng menghentak dunia dengan tubuhnya yang tipis dan ringkih. Ia lalu digandrungi hampir seluruh perempuan seantero jagat dan menjadi ikon bagi representasi perempuan modern saat itu. Menurut feminis Naomi Wolf, apa yang dilakukan dunia mode lewat Twiggy saat itu merupakan upaya dekonstruksi citra montok dan sintal sebelumnya. Twiggy yang kerempeng adalah representasi gerakan pembebasan perempuan dari mitos kecantikan yang sebelumnya dikaitkan dengan fungsi reproduktif. Namun, seperti yang dikatakan Richard Dunphy, dosen politik seksual di Inggris, pada kenyataannya kita telah terperangkap di dalam berbagai citra dan mitos itu. Bukankah selama ini kita para perempuan telah dipaksa untukberpikir dan bertindak sejalan dengan mitos dan citra kecantikan itu?

Entah sadar atau tidak, kita telah mewariskan kepada generasi muda perilaku dan pola berpikir yang terbelenggu dalam mitos dan pencitraan. Yang lebih menyedihkan, kita tak sadar bahwa definisi dan pencitraan kecantikan serta seksualitas-yang awalnya didefinisikan kaum lelaki-lama-kelamaan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan dan dibuat kita sendiri, semata-mata untuk menyenangkan kaum lelaki. Sebagian dari kita yang pernah membaca karya monumental Simone de Beauvoir, The Second Sex, tentu ingat, di satu bagian Simone menggambarkan tentang masa tersulit bagi perempuan ketika menjalani proses transisi dari seorang gadis menjadi perempuan dewasa. Menurut Simone, peralihan menjadi dewasa disertai tuntutan agar menjadi bersikap feminin yang didefinisikannya sebagai lemah, penurut, dan tidak produktif.

Umumnya perempuan menghadapi kontradiksi yang hebat di dalam dirinya sendiri dalam mengadopsi sifat-sifat feminin yang diajarkan oleh keluarga berdasarkan tradisi turun-temurun. Tak semua merasa senang harus menjadi seorang perempuan. Dari pribadi yang bebas dan spontan berbuat apa saja di masa kecil dan remajanya, kini ia harus menekan kemauan dan perasaannya agar tidak berkarakter keras dan garang seperti lelaki. Kegalauan hati Simone dicurahkan dalam kalimat “bukan dengan meningkatkan nilainya sebagai manusia bahwasanya perempuan dihargai oleh kaum lelaki; namun dengan membentuk dirinya sesuai dengan mimpi-mimpi mereka”. Di dalam buku itu Simone lalu mengeluh, “seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi seorang perempuan”. Dalam hal ini Naomi Wolf benar, ia mengatakan di dalam bukunya, The Beauty Myth, kecantikan adalah tempat yang tepat untuk memelihara dominasi pandangan patriarkis. Sementara tidak ada tuntutan demikian bagi kaum lelaki.

Demikianlah tradisi: ia mengakar dan mengajar masyarakat tentang berbagai hal, termasuk bagaimana seharusnya menjadi perempuan atau lelaki. Mitos-mitos kecantikan dan seksualitas sebagian juga lahir lewat tradisi dan sebagian dari kita sendiri tanpa sadar masih memelihara dan membiarkannya turun kepada generasi anak-anak kita.Mungkin sudah sering kita dengar dari orang-orang tua larangan terhadap kaum perempuan untuk makan buah pisang ambon, nanas, atau mentimun karena “bisa menyebabkan timbulnya darah putih”. Setelah melahirkan, perempuan masih harus minum jamu kunyit agar “peranakan cepat kering” serta dilarang keras makan ikan gabus agar “peranakan tidak cepat mekar”. Entah bagaimana penjelasannya serta kebenarannya secara medis-dan bukan tujuan saya di sini untuk mendebat kebenarannya-tetapi adanya mitos itu rasanya membuat kita kehilangan hak untuk menikmati berbagai karunia alam yang diberikan oleh Allah SWT.

muslimah

muslimah

Dan kemudian bagaimana kita memandang kecantikan itu sendiri. Dalam agama Islam –Dien yang datang dari Dzat yang Maha Tahu dan Maha Indah– Islam tidak pernah melarang kita untuk menjadi cantik. Bahkan kita disunahkan senantiasa menjaga dan merawat diri kita. Sebagaimana sabda Rosulullah SAW ”Sesungguhnya Allah itu Indah dan mencintai keindahan” (HR. Imam Qurthuby dari Imam Makhul dari Aisyah ra.). Kita diharuskan untuk memelihara kerapian dan kebersihan diri sebagai eujud rasa syukur atas apa yang sudah Allah Ar Rahman berikan.

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al A’raaf (7);31)

Dari ayat di atas menunjukkan bahwa kita senantiasa untuk terlihat rapi dan bersih terutama ketika pergi ke masjid. Namun, sekalipun dalam Islam tidak ada larangan untuk menjadi cantik, bukan berarti kita bebas untuk menghalalkan segala cara untuk menjadi cantik. Cantik yang dibolehkan dalam Islam tentunya tidak diperbolehkan bertabaruj atau menampakan kecantikan sampai memalingkan perhatian kaum adam karena terpesonanya.

dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (TQS. Al Ahzab (33):33).

Sungguh tak ada yang salah dengan perawatan tubuh untuk merawat kecantikan. Yang perlu direnungkan adalah bagaimana kita menyikapi tren dan rayuan mautnya itu, lalu secara tegas berkata tidak untuk berbagai treatment yang memang tidak perlu dijalani. Hal ini penting karena perempuan sebagai kaum yang diincar oleh para pemilik kapital memang mudah dibuat tidak percaya diri dan tidak nyaman dengan kondisi fisiknya.


2 Tanggapan to “Cantik, antara Mitos dan Realita”


  1. November 15, 2008 pukul 6:00 pm

    nice artikel….
    thanks ya infonya…
    sangat bermanfaat

  2. November 11, 2010 pukul 2:49 pm

    Luar biasa…semoga artikelnya menjadi inspirasi kaum perempuan dan laki-laki saat ini, dmana hegemni kapitalisme telah menggurita dalam setiap lini kehidupan. perempuan “dipaksa” untuk menjauhkan diri dari kemanusiaannya. akhirnya ia bergeak dibawah bayang-bayang kecantikan semu.


Tinggalkan komentar


Kategori

Waktu adalah pedang…

September 2008
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930